"Semoga Selamat Dalam Mengemban Amanah!"
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Dumai hasil Pilkada 2020 telah dilantik pada tanggal 26 Februari 2021. Kendati prosesi pelantikan secara teknis berbeda dari periode sebelumnya, namun sedikit pun tidaklah mengurangi makna esensial atas pelantikan tersebut, yakni kandungan substansi pada kalimat sumpah/janji yang diucapkan tatkala mengemban amanah jabatan.
Mantan Ketua KPU Kota Dumai Ahmad Rasyid mengatakan bagi insan yang memiliki kebeningan jiwa, prosesi itu memiliki dimensi pertanggungjawaban dunia dan akhirat. Saat lidah ucapkan sumpah/janji jabatan, maka dengan seketika hati menghadap Sang Pencipta, lalu kiisi-kisi bathinya bergoncang dan nuraninya berfatwa untuk diri sendiri: "Jangan engkau ingkari sumpah serta segala janjimu dan engkau adalah pelayan masyarakat .!"
Lain hal bagi insan dengan jiwa nan berjelaga. Hal itu hanya dianggap sebagai sesi seremonial formalistik yang disambut dengan hati riang penuh sukacita. Oleh karenanya, pada konteks ini, seperti yang sudah-sudah, Rasyid tidak pernah berkata "Selamat atas dilantiknya" dan dia hanya berkata, "Semoga selamat dalam mengemban amanah"
Menyambung langkah Walikota dan Wakil Walikota Dumai pasca prosesi pelantikan, kata dia, tentunya diiringi oleh selaksa ekspektasi publik dan lazimnya dapat disarikan menjadi beberapa hal sebagai berikut;
Pertama, pasca pemilihan memang rentan adanya gejala keterjebakan psikologis secara personal dan atau komunitas. Namun, yang demikian tidak akan terjadi manakala yang tidak terpilih tetap legowo dan yang terpilih juga tidak berlaku jumawa. Baik yang dilafazkan melalui bahasa lisan, maupun yang diekspresikan melalui bahasa nonverbal (bahasa tubuh).
Kedua, mengambil hikmah atas kejadian masa lalu dimana fenomena disharmoni hubungan Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah pada fase-fase tertentu kerap menjadi perbincangan minor yang mengisi ruang publik dan berakibat pada degradasi kewibawaan kedua belah pihak.
Fenomena disharmoni dapat dikatakan sebagai "hama" dalam sistem manajemen pemerintahan dan publik tidak menghendaki "hama" tersebut hinggap dalam sistem manajemen Pemerintahan di Kota Dumai.
Bilamana berangkat dari nalar kearifan, sudah barang tentu akan terbingkai pemahaman utuh bahwa secara yuridis formal Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah diniscayakan masuk ke arena Pilkada secara berpasangan (Pasangan Calon), dan yang dipilih masyarakat adalah Pasangan Calon.
Maknanya adalah setiap individu yang menggabungkan diri sebagai Pasangan Calon pasti memiliki kontribusi dalam perjuangan dan pasti memiliki pendukung pendulang suara. Pada perspektif tersebut juga dapat dipastikan mereka berdua (Pasangan Calon) telah mengikat diri dalam bentuk komitmen yang telah disepakati.
Seandainya setelah dilantik terjadi disharmoni hubungan, maka akan dengan mudah publik menerjemahkan akar problemanya, yaitu telah terjadi peristiwa pengingkaran komitmen diantara mereka. Syahdan, konsekwensi logis dari dua sosok yang telah menisbatkan diri sebagai Pasangan Calon, lalu kemudian terpilih dan dilantik, maka menjadi niscaya untuk memformalisasikan kebijakan berdasarkan norma yuridis. Nsmun, sebelumnya musti memformulasikan rencana kebijakan dengan berpijak pada norma etis sebagai manifestasi dari pelaksanaan komitmen yang telah disepakati secara bersama.
Ketiga, selama periode masa jabatan berlangsung, maka suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa publik mendambakan capaian maksimal atas realisasi visi, misi, dan program serta janji-janji saat kampanye.
Agar tidak terjadi pertikaian persepsi, makna kontekstual dari capaian maksimal yang dimaksud di sini adalah hasil dari totalitas usaha, serta ikhtiar rasional dan terukur dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki. Peluang capaian maksimal tersebut sangat mungkin bisa terwujud dan juga berpotensi untuk tidak dapat direalisasikan sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Jika terwujud, maka masyarakat akan merasakan buah-buah kebijakan yang sarat faedah untuk kemaslahatan masal. Apabila tidak berhasil itu bermakna publik hanya disuguhkan beragam celoteh-celoteh kebajikan nan dibingkai oleh narasi andai-andai.
Keempat., "Kita tidak bisa menjadi manusia sempurna akan tetapi kita bisa sempurna sebagai manusia. Letak kesempurnaan sebagai manusia adalah ketika ada kekurangan pada dirinya."
Beralas pada nilai-nilai filosofis tersebut, sejatinya pada diri manusia ada ruang yang mesti mendapatkan suplai peran, injeksi gagasan dan ide dari lingkungan eksternal.
Pejabat publik harus senantiasa berada di lingkaran para pengingat, pemikir, dan pekerja, yang memegang prinsip ideologis untuk kemaslahatan masyarakat.
Selanjutnya, mewaspadai flatterer community adalah suatu keharusan. Ungkapan halus untuk melabeli flatterer community yaitu "para pemikul konsepsi ABS" (Asal Bapak Senang). Mereka adalah bagian dari segmentasi sosial yang tetap ada di setiap sesi zaman dan sepertinya memang telah menjadi hukum alam (keharusan universal). Rentetan cerita sejarah telah memberikan penegasan bahwa eksistensi mereka kerap menjadi "virus peradaban" karena mereka bergerak berdasarkan faham individualis dengan nalar pragmatis-oportunis.
Secara analogis, Rasyid menyimpulkan bahwa apa yang dikatakannya bukanlah obat untuk mengobati penyakit saat wabah merebak, melainkan hanya laksana beberapa butir herbal pencukup ramuan guna mencegah datangnya penyakit ditengah pandemi.
Relevansinya adalah untuk merespon nuansa yang terbangun di wilayah publik saat ini, dimana masyarakat Dumai memandang Paisal - Amris sebagai pasangan pembuka harapan baru bagi kemajuan dan kemaslahatan negeri ini.
"Semoga Pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Dumai yang telah dilantik ini berhasil memenuhi ekspektasi publik, senantiasa bekerja dalam suasana harmonis, dan berhasil mewujudkan capaian maksimal atas realisasi visi, misi, dan program, serta janji yang telah diucapkan. Sehingga pada akhirnya mayoritas masyarakat Dumai akan berkata bahwa pasangan Paisal - Amris sangat layak dipertahankan dan diperjuangkan pada Pilkada mendatang," kata dia.***(Yusnaidi Abdullah)
0 Komentar